9 Februari: Peringatan Hari Pers Nasional

Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati setiap 9 Februari didasarkan atas Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985. Keputusan yang ditendatanganin oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985 itu menyebutkan bahwa Pers Nasional Indonesia mempunyai sejarah perjuangan dan peranan penting dalam melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila.


Namun, sebelum keputusan itu, HPN telah digodok sebagai salah satu butir keputusan Kongres ke-28 Persatuan Wartawan (PWI) di Padang, Sumatera Barat, pada 1978. Kesepakatan tersebut, tak terlepas dari kehendak masyarakat pers untuk menetapkan satu hari bersejarah untuk memperingati peran dan keberadaan Pers secara nasional.

Dalam sidang ke-21 Dewan Pers di Bandung pada 19 Februari 1981, kehendak tersebut disetujui oleh Dewan Pers untuk kemudian disampaikan kepada pemerintah sekaligus menetapkan penyelenggaraan HPN.

Sejatinya, HPN tidak bisa dilepaskan dari fakta sejarah terkait peran penting wartawan sebagai aktivis pers dan aktivis politik. Sebagai aktivis pers, wartawan bertugas dalam pemberitaan dan penerangan guna membangkitkan kesadaran nasional serta sebagai aktivis politik yang menyulut perlawanan rakyat terhadap kemerdekaan.

Peran ganda tersebut tetap dilakukan wartawan hingga setelah proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Bahkan, pers kemudian mempunyai peran strategis dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan.

Pada 1946, aspirasi perjuangan wartawan dan pers Indonesia kemudian beroleh wadah dan wahana yang berlingkup nasional pada 9 Februari 1946 dengan terbentuknya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Lahirnya PWI di tengah situasi perjuangan mempertahankan Republik Indonesia dari ancaman kembalinya penjajahan, melambangkan kebersamaan dan kesatuan wartawan Indonesia dalam tekad dan semangat patriotiknya untuk membela kedaulatan, kehormatan, serta integritas bangsa dan negara.

Kehadiran PWI juga diharapkan mampu menjadi tombak perjuangan nasional menentang kembalinya konolialisme dan dalam menggagalkan negara-negara boneka yang hendak meruntuhkan Republik Indonesia.

Sejarah lahirnya surat kabar dan pers itu berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dari sejarah lahirnya idealisme perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan. Hadir dari kesadaran itu, pada 6 Juni 1946 di Yogyakarta, tokoh-tokoh surat kabar dan tokoh-tokoh pers nasional berkumpul untuk mengikrarkan berdirinya Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS).

SPS menyerukan agar barisan pers nasional perlu segera ditata dan dikelola baik dalam segi ide serta komersialnya. Hal itu mengingat bahwa pada kala itu pers penjajah dan pers asing masih hidup dan tetap berusaha mempertahankan pengaruhnya.

Sebetulnya SPS telah lahir jauh sebelum 6 Juni 1946, yaitu tepatnya telah ada empat bulan sebelumnya bersamaan dengan lahirnya PWI di Surakarta pada 9 Februari 1946. Karena kesamaan itulah, banyak orang yang kemudian menjuluki SPS dan PWI sebagai "kembar siam". Pada 9-10 Februari itulah, wartawan dari seluruh Indonesia berkumpul dan bertemu. Mereka datang dari beragam kalangan wartawan, seperti pemimpin surat kabar, majalah, wartawan pejuang dan pejuang wartawan.

Dari pertemuan besar pertama itu, mereka berhasil memutuskan beberapa poin di antaranya (1) menyetujui dibentuknya PWI yang diketuai oleh Mr Sumanang Surjowinoto dengan sekretaris Sudarto Tjokrosisworo, (2) membentuk 8 komisi yang bertugas merumuskan hal ihwal persuratkabaran nasional serta usaha koordinasinya ke dalam satu barisan pers nasional dengan satu tujuan, yaitu, "Menghancurkan sisa-sisa kekuasaan Belanda, mengobarkan nyala revolusi, dengan mengobori semangat perlawanan seluruh rakyat terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional, untuk keabadian kemerdekaan bangsa dan penegakan kedaulatan rakyat." Kemudian, komisi 10 orang tersebut dinamakan "Panitia Usaha".

Baru setelah 26 tahun, pengalaman pers nasional dan kesulitan di bidang percetakan kemudian melahirkan Serikat Grafika Pers (SGP) pada pertengahan tahun 1960-an. Kesulitan semakin mencekik ketika kemerosotan peralatan cetak dalam negeri digempur kecanggihan teknologi mutakhir luar negeri.

Kelimpungan dengan hal itu, tergeraklah keinginan untuk meminta pemerintah ikut mengatasi kesulitan tersebut untuk memperbaiki keadaan pers nasional dan berkontribusi dalam pengadaan peralatan cetak dan bahan baku pers. Hingga akhirnya, pada Januari 1968 dilayangkan nota permohonan kepada Presiden Soeharto.

Menanggapi hal itu, pemerintah mengesahkan Undang Undang penanaman modal dalam negeri yang menyediakan fasilitas keringanan pajak dan bea masuk serta dimasukkannya grafika pers dalam skala prioritas telah memacu berdirinya usaha-usaha percetakan baru.

Menyusul berbagai kegiatan persiapan, berlangsunglah Seminar ke-1 Grafika Pers Nasional pada Maret 1974 di Jakarta. Kemudian, keinginan untuk membentuk wadah grafika pers SGP terwujud pada 13 April 1974.

Persatuan Perusahaan periklanan Indonesia (P3I) ditetapkan sebagai anggota organisasi pers nasional berdasarkan Undang Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pers. Penetapan tersebut, disusul bahwa bidang usaha (aspek komersial) periklanan berada di bawah pembinaan Departemen perdagangan dan Koperasi sedangkan bidang operasionalnya (aspek idenya) ditempatkan dalam pembinaan Departemen Penerangan.

Bergulirnya era reformasi, sebagai babak baru pascaruntuhnya rezim Orde Baru, telah melahirkan kebebasan dan keterbukaan informasi di Indonesia.

Jika pada era Orde Baru, hanya PWI yang diakui sebagai satu-satunya organisasi profesi kewartawanan, maka sejak era reformasi telah muncul puluhan organisasi wartawan seperti halnya dengan pembentukan partai-partai politik yang tumbuh bagaikan "cendawan di musim hujan".

Jumlah organisasi wartawan yang cukup banyak yang terbentuk selama era reformasi ternyata tidak semuanya menunjukkan kualitas yang baik. Oleh karena itu Dewan Pers, dalam rangka pelaksanaan tugasnya untuk menumbuhkan profesionalitas pengelolaan organisasi wartawan, perlu menetapkan standar organisasi wartawan yang berlaku secara nasional.

Dari penelitian yang dilakukan Dewan Pers, dari puluhan organisasi wartawan yang ada ternyata hanya 4-5 organisasi wartawan yang memenuhi syarat, diantaranya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Berdirinya AJI dilatarbelakangi oleh tuntutan dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang pengekangan pers, serta menolak wadah tunggal untuk jurnalis. Berdirinya AJI memberi gaung cukup besar di dunia jurnalistik Indonesia.

Sejak berdiri hingga saat ini, AJI memiliki kepedulian pada tiga isu utama, yakni pertama, perjuangan untuk mempertahankan kebebasan pers. Kedua, meningkatkan profesionalisme jurnalis. Ketiga, meningkatkan kesejahteraan jurnalis. (Pikiran Rakyat dan sumber lainnya)