Sebuah foto diambil wisatawan asal Makassar, Sulawesi Selatan.
Foto itu menampilkan latar panorama Gunung Mamake, Kotabaru, Kalimantan Selatan.
"Kami seperti yang lain berwisata dan berfoto-foto, namun ada yang membuat kami terperangah dari hasil jepretan suami (diduga foto penampakan Kota Saranjana), " ujar Devi Ayu Puspita di Kotabaru.
Cerita Kota Saranjana bukan kali pertama ini terdengar. Sebelumnya, beberapa orang sempat mengalami pengalaman mistis serupa yang dikaitkan dengan keberadaan kota ini.
Misalnya, dalam unggahan video TikTok oleh akun ini pada 7 Desember 2022 silam.
Dalam videonya, pengunggah membagikan cerita seorang kurir yang mendapatkan emas 4 kilogram di Saranjana.
Video ini pun telah ditonton lebih dari 2 juta kali dan disukai oleh lebih dari 67.000 pengguna.
Di mana Kota Saranjana?
Dosen Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur, S.Pd., M.Hum, menjelaskan, terdapat berbagai versi terkait lokasi kota Saranjana terletak di mana.
Pertama, konon letak Saranjana berada di Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Versi kedua, kota ini berada di Teluk Tamiang, Pulau Laut.
Sementara versi ketiga, lebih tegas menyebutkan bahwa lokasi wilayah Saranjana ada di sebuah bukit kecil yang terletak di Desa Oka-Oka, Kecamatan Pulau Laut Kelautan, Kalimantan Selatan.
"Bukit yang berbatasan langsung dengan laut ini indah dan cocok dijadikan destinasi wisata. Namun, tempat ini dianggap angker oleh penduduk sekitar," ujar Mansyur kepada Kompas.com, Senin (9/1/2023).
Mansyur selaku Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial, dan Budaya Kalimantan ini mengatakan, keberadaan Saranjana dalam perspektif sejarah adalah fakta.
Hal ini ditampakkan oleh Salomon Muller, seorang naturalis berkebangsaan Jerman dalam peta bertajuk.
Peta pada 1845 silam ini mengambarkan, ada wilayah yang tertulis sebagai Tandjong (hoek) Serandjana.
Tandjong ini terletak di sebelah selatan Pulau Laut, tepatnya berbatasan dengan wilayah Poeloe Kroempoetan dan Poeloe Kidjang.
Terkait kapasitas sebagai pembuat peta, Mansyur menuturkan bahwa Salomon Muller telah mendapatkan pelatihan dari Museum Leiden.
Muller kala itu juga tengah melakukan perjalanan penelitian tentang dunia binatang dan tumbuhan di kepulauan Indonesia.
"Belum bisa dipastikan apakah Salomon Muller pernah berkunjung ke Tandjong (hoek) Serandjana sebelum memetakannya," jelasnya.
Selain itu, Muller pun tak pernah menyinggung kota ini dalam beberapa artikel yang diterbitkan Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Peta Saranjana tersebut, termuat dalam Reizen en onderzoekingen in den Indischen Archipel, seri pertama yang diterbitkan Staatsbibliothek zu Berlin.
"Peta ini dibuat 18 tahun sebelum Salomon Muller meninggal dunia pada tahun 1863," katanya lagi/
Di sisi lain, profesor geografi dan etnologi Belanda Pieter Johannes Veth turut membagikan informasi seputar Serandjana.
Informasi tersebut tertuang dalam kamus "Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie: bewerkt naar de jongste en beste berigten", halaman 252, terbitan Amsterdam oleh P.N. van Kampen pada 1869. Veth menuliskan,
"Sarandjana, kaap aan de Zuid-Oostzijde van Poeloe Laut, welk eiland aan Borneo's Zuid-Oost punt is gelegen.
Kalimat tersebut memiliki arti kurang lebih, "Sarandjana, tanjung di sisi selatan Poeloe Laut, yang merupakan pulau yang terletak di bagian tenggara Kalimantan."
Asal usul nama Saranjana
Selain fakta dari sumber Hindia Belanda,
Mansyur menyebutkan bahwa masih terdapat sumber lain terkait Kota Saranjana.
"Sumber yang tentunya jangan sampai ditinggalkan. Untuk membuat mitos menjadi nyata, harus dimulai dari kemitosannya," tutur dia.
Pertama, ditilik dari sudut pandang bahasa, nama Saranjana, Sarangjana, atau Serandjana dalam tulisan naturalis Belanda memiliki kesamaan dengan Sarangtiung. Wilayah Saranjana ada di selatan Pulau Laut, sementara daerah Sarangtiung berada di utara Pulau Laut."
Apakah unsur kesamaan ini menunjukkan hubungan? perlu pendalaman. Hal yang pasti, menunjukkan tempat berupa 'sarang'," kata Mansyur.
Namun, dia berpendapat bahwa pembuktian unsur kesejarahan dalam konteks ini hanya sampai di sini. Sebab, belum ada sumber yang menunjukkan adanya hubungan kedua wilayah ini.
Artinya, pendapat ini hanya pencocokan atau cocoklogi yang belum bisa mencapai taraf hipotesis. Kedua, lanjut Mansyur, apabila dibandingkan dengan kosakata India, maka "Saranjana" berarti tanah yang diberikan.
Kendati demikian, pendapat ini juga masih dalam tahap cocoklogi.
Apalagi, belum pernah ditemukan peninggalan "wujud budaya" hasil Indianisasi di Pulau Laut. Penelusuran ketiga, bersumber dari lisan warga lokal dalam publikasi "Myths in Legend of Halimun Island Kingdom in Kotabaru Regency" oleh Normasunah.
"Normasunah berpendapat sesuai mitos. Gunung Saranjana merupakan jelmaan dari tokoh Sambu Ranjana dalam Legenda Kerajaan Pulau Halimun," papar Mansyur.
Dalam mitos itu, Raja Pakurindang mengatakan: "Sambu Batung, engkau dan Putri Perak tinggallah di utara pulau ini. Teruskan rencanamu membuka diri dan membaur di alam nyata. Dan engkau Sambu Ranjana tinggallah di selatan, lanjutkan niatmu menutup diri.
Aku merestui jalan hidup yang kalian tempuh.
"Namun ingat, meskipun hidup di alam berbeda, kalian harus tetap rukun. Selalu bantu-membantu dan saling mengingatkan. Kesimpulannya, nama Sambu Ranjana inilah yang kemudian mengalami 'evolusi' pelafalan menjadi 'Saranjana' dalam lidah orang lokal," ungkap dia.
Dugaan Kerajaan Saranjana dari Suku Dayak Samihim
Di sisi lain, apabila menelusuri keberadaan wilayah Saranjana dalam perspektif ilmiah, terdapat dugaan bahwa Saranjana adalah wilayah kekuasaan dari Suku Dayak yang bermukim di Pulau Laut.
"Suku Dayak yang dimaksud adalah Dayak Samihim, subetnis suku Dayak yang mendiami daerah timur laut Kalimantan Selatan," ujar Mansyur.
Berbentuk negara suku dari Suku Dayak Samihim, Kerajaan Saranjana muncul sebelum 1660-an atau pada pra-abad ke-17 Masehi.
Mansyur menjelaskan, kepala suku pertama adalah Sambu Ranjana yang semua menganut kepercayaan animisme. Namun seiring perkembangannya, Sambu Ranjana mulai mendapat pengaruh Hindu lama.
"Pada akhirnya, kelompok Suku Dayak Samihim meninggalkan wilayah Saranjana akibat perang dengan kekuatan asing yang datang dengan perahu, menyerang penduduk dan menghancurkan wilayahnya," terang dia.
"Walaupun sudah meninggalkan wilayahnya, nama pusat kekuasaan Suku Dayak Samihim di Pulau Laut, sampai sekarang tetap dinamakan dengan Saranjana," lanjutnya.
Hipotesis kota angan-angan
Hipotesis lain mengatakan, Saranjana merupakan mitos tentang daerah atau pemerintahan kerajaan maju yang menjadi cita-cita Pangeran Purabaya dan anaknya, Gusti Busu dari Kerajaan Pulau Laut. Jadi wilayah Saranjana adalah semacam memori kolektif, yakni sebagai negeri impian dari pemilik pertama tanah apanaze Pulau Laut ini," kata Mansyur.
Hipotesis kedua ini, lebih condong ke pemahaman bahwa Saranjana tidak nyata. Menurut Mansyur, posisi Saranjana hanya sebagai memori kolektif.
Lambat laun, kota ini pun menjadi mitos sebuah wilayah impian atau negeri angan-angan masyarakat pendukungnya.
"Oleh karena itu, mitos inilah yang berkembang sampai sekarang. Dalam mitos, selalu digambarkan Saranjana memang menjadi wilayah yang maju," tandasnya. */tribun
0 Komentar