Masih Mau Rekam Aktivitas Seksmu?

Mendokumentasikan sebuah peristiwa pribadi tak melulu berujung pada kenangan manis. Pada kasus tertentu, itu bisa berujung petaka bagi diri sendiri dan orang-orang terdekat. 




Korban sudah banyak. Namun, dibutakan kesenangan, banyak yang tak mau belajar sehingga jatuh pada lubang yang sama. Kasus perekaman aktivitas seks, salah satunya.

Bak fenomena gunung es, fenomena perekaman aktivitas seks hanya segelintir yang terekspose.

Padahal, pidana mengintai dari segala sisi, belum lagi efek lain dari sisi mental dan sosial ketika rekaman tersebar baik karena kesengajaan maupun tidak.

Pada titik ini, rasanya kita perlu berhenti sejenak. Mempertanyakan kembali eksistensi teknologi bagi peradaban umat manusia.

Bersamaan, hasrat-hasrat tak wajar seperti perekaman aktivitas seks bersama pasangan ini pun perlu ditelaah lebih dalam akar persoalannya, bukan sekadar menimpakan stigma.

"Kita rekam, yuk." Celetukan Andi (bukan nama sebenarnya) itu menghentikan aktivitas persetubuhannya dengan sang istri.

"Apaan, sih?" jawab sang istri, Bunga (bukan nama sebenarnya), dengan nada malas.

"Iseng aja. Habis itu kita hapus deh," timpal Andi memelas.

Wajah Bunga terlihat kesal. Namun, ia tidak berani menjawab tegas, tidak.

Menganggap sang istri tidak menolak, Andi langsung berlari kecil ke arah meja di sudut ruangan. Ia membuka salah satu laci dan merogoh isinya.

Dapat. Sebuah action cam ada di dalam genggaman Andi.

Ia lantas meletakkan kamera mungil itu di atas tumpukan buku yang berserak di permukaan meja. Arah kamera diatur agar lensa dapat merekam aktivitasnya bersama sang istri.

“Sejujurnya, saat itu gue iseng aja,” tutur Andi saat menceritakan peristiwa itu kembali kepada Kompas.com di salah satu kafe bilangan, Jakarta Pusat, Sabtu (14/11/2020).

- Efek tontonan

Namanya juga iseng, Andi awalnya tidak tahu persis mengapa ia sampai nekat merekam aktivitas seksnya bersama sang istri.

Namun, setelah ditelisik lebih dalam, rupanya dorongan itu bukan muncul tiba-tiba dan tanpa sebab sama sekali.

Ada kemungkinan, permintaan Andi yang ajaib itu  didorong sejumlah faktor pada kehidupannya yang terjadi di masa lampau.

“Dulu waktu SMA dan kuliah, kalau diingat-ingat memang ada keinginan untuk merekam aktivitas seks. Tapi kok enggak pernah kesampaian. Eh ternyata kesampaiannya sama istri,” ujar Andi yang pada Januari 2021 nanti genap berusia 33 tahun.

Selain itu, Andi mengira-ngira dorongan untuk merekam aktivitas seks itu bersumber dari keseringannya menonton film porno.

Film dewasa yang dia tonton dahulu bukanlah yang ada di situs dewasa, melainkan video porno yang juga direkam secara amatir dan tersebar melalui ponsel.

“Mungkin karena itu ya. Karena dulu saya jadi suka kebayang, gimana ya kalau gue yang ada di dalam video itu,” ujar Andi.

- Pembuktian diri

Lain pula pengalaman Joni (juga bukan nama sebenarnya). Pria berusia 32 tahun itu ketika kecil merupakan korban bullying. Teman-temannya meledek kondisi tubuhnya yang tambun.

Ledekan menjadi-jadi ketika mata pelajaran olahraga di sekolah. Gerakannya sering menjadi olok-olok teman bahkan sang guru.

Situasi traumatik itu membuat Joni tidak percaya diri di hadapan siapa pun, termasuk di depan teman perempuan yang dia sukai di sekolah.

Beranjak dewasa, Joni berupaya keras menurunkan berat badan. Ia bertekad mencapai kesuksesan dalam hal apa pun, sesuatu yang sulit diraih ketika Joni kecil dalam kondisi tertekan.

Ia mencapai berat dan bentuk tubuh yang diinginkan pada usia 20 tahun. Saat itulah, ia merasa mulai melupakan segala beban hidupnya.

“Termasuk urusan menggaet cewek. Dulu mungkin gue anak culun ya. Dicengin terus. Tapi sekarang, gua bisa begituan sama cewek yang dianggap orang-orang 'wah, sulit itu (buat digaet).' Gue rekam pula,” ujar Joni.

Joni yang sudah menikah sejak umur 29 tahun tetapi belum dikaruniai anak itu mengatakan, ia masih berkomunikasi baik dengan teman-temannya yang dahulu sering mem-bully.

Salah satu saluran komunikasi mereka adalah Whatsapp Group.

Suatu ketika, Joni nekat mengirimkan video aktivitas seksnya dengan seorang wanita ke grup teman-teman sekolahnya itu.

“Enggak ada muka gue ya di situ. Tapi mereka tahu itu gue, karena ada tato. Rasanya tuh pengin bilang, 'Hei, lu yang dulu katanya jagoan, bisa enggak kayak gue begini?',” ujar Joni.

Teman-teman sekolah di grup yang kebetulan semuanya laki-laki sempat heboh. Namun, sebagian besar tidak percaya bahwa pria di dalam video tersebut adalah Joni, sekalipun ada bukti tato di lengan lelaki dalam video yang memang seperti punya Joni.

“Karena dibilang hoaks, akhirnya gue kirim foto gue sama perempuan pas lagi begituan. Kali ini ada muka gue. Baru deh tuh pada diam semua,” ujar Joni.

Belakangan, Joni yang kini bekerja di bidang konstruksi itu merasa menyesal. Dia bahkan bertanya-tanya sendiri kok sampai terbawa emosi mengirimkan foto tersebut ke teman-temannya.

“Akhirnya itu foto istilahnya jadi kuncian mereka. Tapi bodo amatlah. Yang penting gue sudah puas,” lanjut dia.

- Insecure

Mawar (bukan nama sebenarnya) juga punya cerita serupa. Wanita berusia 28 tahun itu mengaku pernah merekam aktivitas seksnya bersama sang kekasih. Kejadiannya pada 2015.

Tidak hanya merekam, sang kekasih meminta dia melakukan sejumlah gerakan serta bersuara. Anehnya, Mawar menuruti saja permintaan sang kekasih.

“Entah kenapa gue merasa senang. Gue merasa, eh sebenarnya gue cantik loh, seksi loh. Gue enggak merasa malu. Itu seolah-olah panggung di mana gue perform,” ujar Mawar.

Terlebih lagi, setelah itu sang kekasih memujinya sebagai wanita yang menawan.

Bagi Mawar, ia merasa dihargai. Diperhatikan. Wanita yang bekerja sebagai jurnalis di salah satu media massa nasional itu menampik bahwa perilakunya disebut sebagai gangguan psikologis.

“Kalau dibilang gue sakit, enggak. Gue cuma merasa nakal doang, sih,” ujar Mawar.

Ia berdalih, banyak selebritas yang melakukan hal tersebut sehingga itu merupakan perilaku yang wajar pada zaman sekarang. Justru, dia merasa hal itu membuatnya semakin percaya diri.

“Karena jujur gue orangnya agak insecure. Merasa enggak percaya diri. Tapi dengan begitu, gue merasa cantik, ada yang mau sama gue," tutur Mawar.

Untuk mempertebal pendapatnya, Mawar pun menjadikan laku sang kekasih untuk menyimpan video itu sebagai tambahan bukti.

"Dia mau simpan video. Kan kita enggak mungkin simpan foto atau video yang enggak berharga atau enggak kita suka kan?” cerocos Mawar.

Untuk sesaat, Mawar merasa percaya kekasihnya yang kini sudah menjadi mantan itu tidak akan menyebarkan video.

Alasannya, tidak hanya wajah Mawar yang terekam di video, tetapi juga wajah sang mantan. Dengan begitu, dia berkeyakinan video itu tak akan diperlihatkan ke orang lain.

Selain itu, mantan kekasihnya juga bukan selebritas, pejabat publik, atau pun tokoh apa pun yang kerap dicari aibnya.

FENOMENA BERISIKO PANJANG

Meski punya segudang pembenaran untuk perekaman aktivitas seks bersama sang mantan, Mawar mengakui bahwa belakangan dia mulai berpikir ulang. 

“(Sekarang) semua agak berubah sih. Ada yang mengganggu gue beberapa tahun setelahnya hingga saat ini. Salah satunya kasus chat mesum (tokoh yang lalu beredar luas)," ujar Mawar.

Belum lagi, belakangan makin banyak pula kasus peretasan ponsel yang beberapa kali terungkap ke publik. 

Terlebih lagi, Mawar adalah jurnalis yang sering mengungkap kritik terhadap pihak tertentu. Ia khawatir ada pihak yang tak senang dan menyerangnya dari sisi itu.

Berdasarkan hasil diskusi dengan sejumlah pakar hukum, orang yang merekam video kegiatan seksual berpotensi ikut dipidana apabila video itu tersebar di khalayak.

Kekhawatiran Mawar itu semakin menjadi-jadi setelah hubungannya dengan mantan kekasihnya itu kian renggang.

Demi menghalau kekhawatirannya, Mawar sering mengunjungi situs-situs film dewasa yang sering mengunggah video syur amatir di Indonesia.

“Gue telusuri dengan keyword tertentu ya. Takutnya ada video gue. Alhamdulilah, sampai sekarang belum nemu,” ujar dia.

Penelusuran Kompas.com terhadap orang-orang yang merekam adegan seksnya sendiri secara mengejutkan, tidaklah sulit.

Dari lima orang yang dihubungi, empat di antaranya dengan lugas menjawab pernah melakukan hal itu. Satu orang lagi tidak menjawab tegas, hanya berujar, "Apaan sih pertanyaan lu. Engak mau jawab ah.”

Tiga dari empat orang yang lugas menjawab pernah merekam adegan seks sendiri itu bersedia dikutip dan jadi cerita pembuka di atas. Satu orang lagi menolak jadi narasumber untuk dikutip.

- Bukan soal generasi...

Meski Kompas.com tak kesulitan mendapatkan pengakuan-pengakuan di atas, fenomena ini tentu saja tidak dapat digeneralisasi apalagi disematkan kepada generasi tertentu.

Selain Andi, Joni, Mawar, dan beberapa orang yang tidak mau dikutip pengalamannya itu, tak sedikit pula ada yang menganggap perekaman adegan seks sendiri adalah perilaku menyimpang.

Aisa (30) salah satunya. Berdasarkan berbagai referensi yang ia baca, merekam adegan seks sendiri itu adalah wujud dari mencari kesenangan dalam bercinta.

Namun, cara untuk mencapai kesenangan itu dilakukan di luar kewajaran sehingga pantas apabila aktivitas merekam adegan seks sendiri disebut sebagai bentuk penyimpangan.

“Dalam konteks umum, cara mencari kesenangan itu kan bisa bermacam-macam. Bisa jalan-jalan, bisa seru-seruan bareng teman atau melakukan apa gitu yang membuat hati menjadi senang,” papar Aisa.

Bagi Aisa, perekaman aktivitas seks sendiri bisa jadi cara sebagian orang untuk mendapatkan kesenangan yang tak biasa.

“Mungkin itu ibarat orang lagi suntuk, lagi bosan, terus dia isengin orang lain sehingga itu membuat dia tertawa. Gitu kali ya. Tapi dia memilih jalan yang enggak umum," ujar Aisa.

Dalam kadar tertentu, Aisa pun masih berusaha memaklumi hal tersebut, terutama sepanjang video rekaman tak tersebar ke publik. Cuma, dia justru khawatir perekaman semacam itu malah bikin pelaku kecanduan. 

“Takutnya yang kayak begitu jadi kecanduan ya. Dia lakukan pertama, kedua, ketiga, mungkin ada hal yang dia tidak puas. Jadinya dia eksplor terus. Makanya, perbuatan pertama biasanya jadi pintu gerbang ke yang selanjutnya,” ujar dia.

Pada tahap inilah, wanita yang bekerja di salah satu perusahaan e-commerce itu menilai, merekam adegan seks sendiri sudah masuk kategori gangguan psikologis.

Aisa yang baru saja memutus hubungan dengan kekasihnya pun mengaku enggan mencoba hal itu dengan pasangannya kelak, bahkan sekalipun telah berumah tangga.

Selain merasa itu adalah perbuatan menyimpang, Aisa pun khawatir file hasil perekaman tersebar luas di masyarakat.

Terlebih lagi, saat ini teknologi sudah berkembang pesat. Dalam situasi tertentu, seseorang seolah tidak memiliki privasi lagi.

“Belum lagi sekarang sebegitu gampangnya gawai personal kita di-hack sama orang. Serem ah,” lanjut dia.

Pendapat senada juga diutarakan Rika (29). Namun, ia menolak mengomentari kasus merekam adegan seks apabila pasangan sudah resmi menjadi suami istri.

Menurut dia, selama perekaman adalah kesepakatan pasangan suami istri, itu adalah hal yang wajar. Ia lebih memilih menyoroti aktivitas merekam adegan seks yang dilakukan oleh pasangan yang belum menikah.

“Dari sisi agama, yang belum menikah kan memang enggak boleh berhubungan badan ya. Nah, apalagi itu direkam kan. Double dosanya,” ujar Rika yang berprofesi sebagai pengusaha kuliner.

Ia juga sependapat dengan Aisa bahwa saat ini banyak pihak yang menyalahgunakan teknologi. Situasi itu tentu bikin siapa pun yang memiliki file rekaman aktivitas seks menjadi khawatir berkepanjangan.

“Makanya daripada dihantui perasaan khawatir terus, mendingan ya enggak usahlah pake rekam-rekam,” ujar dia.

PSIKOLOG: DARI SOAL LIBIDO SAMPAI PENYIMPANGAN PERILAKU

Psikolog klinis dari Personal Growth, Diah Ayu, berpendapat, hal yang mendasari seseorang merekam aktivitas seks sesungguhnya berbeda-beda dan tidak bisa digeneralisasi.

"Jika ditilik dari sisi psikologi, tentu perlu pemeriksaan atau asesmen lebih lanjut untuk mengetahui akar sebenarnya," kata Diah.

Namun, secara umum, Diah mengatakan, salah satu dasar seseorang merekam aktivitas seks sendiri adalah demi meningkatkan libido.

"Dengan merekam, bisa meningkatkan libido. Sehingga, ketika melakukan aktivitas seksual, perlu media lain (dalam hal ini merekam), untuk meningkatkan libido ataupun mencapai kepuasan," kata Diah.

Namun ia menekankan, apabila ingin merekam aktivitas seks sendiri, tentu harus berdasarkan persetujuan.

"Karena melakukan aktivitas seksual pun seharusnya sudah berdasarkan kesepakatan tiap pihak, termasuk hal yang terjadi di dalam aktivitas tersebut, misal merekam," kata Diah.

Persetujuan dari masing-masing pihak sangat dibutuhkan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan yang mungkin terjadi.

"Jelaskan pada pasangan mengapa atau tujuan ingin merekam apa, dan tanyakan persetujuannya," kata Diah.

Selain itu, Diah mengatakan bahwa faktor keamanan juga perlu diperhatikan. Dalam hal ini keamanan dari video hasil rekaman.

"Perlu diperhatikan juga dalam penyimpanan video atau rekaman aktivitas seksual tersebut. Simpan di tempat yang tidak bisa diakses oleh orang lain. Jangan menyimpannya secara sembarangan, untuk mencegah penyalahgunaan dari oknum yang tidak bertanggungjawab," imbuh dia.

Jika memang sudah ada pembicaraan dan persetujuan dari masing-masing pihak, merekam aktivitas seksual bisa dilakukan.

- Bukan gangguan jiwa, tetapi...

Psikolog Zoya Amirin menegaskan, aktivitas merekam adegan seks sendiri bukanlah gangguan jiwa. Jika perekaman tidak bertujuan disebar, tidak ada masalah juga di situ. Lalu?

Dari tinjauan secara psikologis, papar Zoya, seseroang merekam aktivitas seksnya sendiri dapat terjadi atas dasar dorongan perasaan bangga terhadap diri sendiri alias narsistik.

Zoya mengurai soal kategori seseorang dapat disebut mengalami gangguan kesehatan mental.

Seseorang disebut mengalami gangguan itu, kata Zoya, adalah ketika didapati persoalan pada kesehatan mentalnya sehingga orang itu tidak dapat membedakan realitas dan imajinasi serta memiliki halusinasi dan delusi.

Seseorang yang merekam adegan seks sendiri dapat masuk ke dalam kategori penyimpangan perilaku seksual.

Kondisi ini membuat seseorang tidak bisa beraktivitas secara normal bahkan di kondisi terburuk tidak dapat menjaga dirinya sendiri.

“(Tapi,) orang yang enggak realistis saja belum tentu mengalami gangguan jiwa, apalagi orang yang sekadar merekam (adegan seks) kemudian bocor. Kenapa dianggap gangguan jiwa? Itu jauh banget," ucap Zoya.

Karenanya, dia meminta pelaku perekaman aktivitas seks sendiri tidak dilabeli dengan gangguan jiwa. Meskipun, tegas Zoya, aktivitas itu juga tidak dapat dianggap sebagai perilaku wajar.

Dalam intensitas tertentu, seseorang yang merekam adegan seks sendiri, apalagi diperlihatkan kepada orang lain, bahkan dapat masuk ke dalam kategori penyimpangan perilaku seksual.

Ada batas yang cukup tipis sehingga perbuatan itu dikategorikan sebagai penyimpangan perilaku seksual.

“Merekam (adegan seks sendiri) bisa jadi menyimpang misalnya jika dia tidak bisa berhubungan seks kalau belum direkam. Itu masuk (penyimpangan perilaku seksual),” ujar Zoya.

Sebaliknya, perilaku itu tidak dapat dibilang sebagai penyimpangan ketika aktivitas seks pada kesempatan lain tetap dapat dilakukan tanpa keharusan perekaman di dalamnya.

Sebagai contoh perilaku penyimpangan seksual, Zoya menyebut kasus mahasiswa berinisial G di Surabaya, Jawa Timur, yang sempat bikin heboh jagat maya.

G diketahui sering meminta orang lain untuk dibungkus dengan kain jarik serupa jenazah yang tengah disemayamkan dan dia kemudian melakukan aktivitas seksual sendiri.

Menurut Zoya, perilaku G sebenarnya tidak bisa dianggap kriminal apabila dia membicarakan baik-baik seputar penyimpangan seksualnya ke lawan mainnya.

Sebab, kata Zoya, orang boleh saja memiliki hasrat-hasrat menyimpang tapi siapa pun tidak boleh memaksakan hasrat itu ke orang lain.

Selama ada kesepakatan dan dilakukan atas dasar suka sama suka oleh dua orang dewasa berusia di atas 18 tahun, suatu hubungan seks yang dilakukan dengan cara apapun tidak bisa dianggap perbuatan kriminal.

Sayangnya, dalam kasus G, dia menipu para korban menggunakan dalih penelitian. 

"Kalau misal dia mengajaknya dengan bilang baik-baik, tidak usah pakai menipu, tidak berpura-pura mengatakan itu untuk penelitian, tapi bilang saja, 'Saya memang punya gairah nih kalau melihat orang pakai ini, saya jadi nafsu. Kamu pakai, dong,' lalu orangnya bersedia dan menikmati jadi objek seks bagi G maka itu bukan tindakan kriminal," papar Zoya.

Dari kasus G, perekaman aktivitas seks bersama pasangan juga butuh kesepakatan dan persetujuan kedua belah pihak. Jangan sampai perekaman dilakukan tanpa kesepakatan atau bahkan dilakukan diam-diam.

Perekaman tanpa kesepakatan dan sepengetahuan bersama rentan jadi alat ancaman bagi salah satu pihak. Bahkan, yang dengan persetujuan pun tak selalu menghindarkan orang di dalam video dari intaian pidana.

Kesepakatan juga diharuskan jika salah satu pihak ingin memperlihatkan video itu pada orang lain sebagaimana dilakukan Joni. Tanpa kesepakatan bersama, pihak yang tak memberikan persetujuan dan merasa dirugikan dapat mengajukan tuntutan hukum.

PIDANA MENGINTAI

Sejumlah delik pidana mengintai dari beragam penjuru terkait video berisi rekaman aktivitas seks. Perekaman tanpa persetujuan salah satu pihak, jelas kena.

Penyebaran tanpa persetujuan salah satu pihak, kena juga. Menyebar video berisi aktivitas seks yang lalu jadi viral pun dapat menjerat penyebar video hingga pelaku adegan seks, bahkan bila video itu tersebar tanpa sepengetahuan orang-orang yang direkam.

Dalam kasus video adegan 19 detik yang belakangan ini beredar di masyarakat, Zoya melihat kedua orang yang ada dalam video sudah saling mengetahui hubungan seks yang mereka lakukan akan direkam. Sampai pada titik ini, kata dia, hal itu bukanlah masalah.

"Menjadi masalah karena yang menyebarkan membuat ini menjadi konten pornografi. Bagi si pembuatnya, kalau menurut saya ini menjadi video yang hanya akan disimpan oleh mereka dalam ranah pribadi," kata Zoya.

Zoya juga menilai sebuah rekaman adegan seks tidak bisa serta merta disebut sebagai konten pornografi, apalagi jika dibuat hanya untuk disimpan sendiri oleh si pembuat.

Meski bukan ranah kompetensinya, Zoya berpendapat bahwa rekaman adegan seks baru bisa disebut konten pornografi apabila sudah disebarkan.

- Tinjauan hukum

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menjelaskan, aktivitas merekam adegan seks di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

“Tapi yang dilarang oleh undang-undang adalah merekam untuk diedarkan, disebarluaskan. Sementara kalau untuk konsumsi sendiri, sebenarnya tidak kena,” ujar Fickar saat berbincang dengan Kompas.com, Senin (24/11/2020).

Bunyi lengkap delik itu adalah:

Pasal 4

Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; alat kelamin; atau pornografi anak.

Ancaman pidana untuk pelanggaran atas pasal ini diatur dalam Pasal 29 UU Pornografi, yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut:

Pasal 29

Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Fickar melanjutkan, meski ada unsur setiap orang dilarang memproduksi tetapi tidak serta-merta orang yang merekam adegan seks sendiri atau bermuatan pornografi lainnya—baik video maupun foto—dapat dijerat pidana.

Sebab, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) di UU Pornografi menyatakan, yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.

“Jadi, sampai di sini sekali lagi tegas ya bahwa (merekam adegan seks) untuk koleksi pribadi itu tidak bisa dipidana,” ujar Fickar.

Ia menegaskan bahwa dalam kasus video berisi adegan seks yang terjerat hukum adalah pelaku penyebaran.

Buat catatan, Pasal 4 ayat (2), Pasal 5, dan Pasal 6 UU Pornografi juga menjerat pelaku yang menyediakan konten pornografi, meminjamkan atau mengunduh pornografi, serta mereka yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi.

Selain itu, Pasal 8 UU Pornografi pun melarang setiap orang menjadi objek untuk konten pornografi baik atas kesengajaan maupun dengan persetujuan. Pasal 9 UU ini melarang orang menjadikan orang lain sebagai objek atau model konten pornografi. 

- Era teknologi informasi

Selain UU Pornografi, pelaku penyebaran konten bermuatan asusila juga dapat dijerat dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Larangan terkait video berkonten pornografi di UU ITE diatur dalam Pasal 27. Adapun sanksi pidananya diatur pada Pasal 45, yaitu pidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda maksimal Rp 1 miliar.

Fickar mengatakan, kasus yang sering terjadi adalah pelaku perekam adegan seks sendiri tidak menyadari bahwa file video atau foto sudah berpindah tangan ke orang lain bahkan tersebar luas di masyarakat.

Pada titik inilah selain penyebar video, pelaku perekam adegan seks berpotensi terjerat pidana meski pada awalnya ia bermaksud merekam untuk koleksi pribadi.

Hakim pada persidangan akan melihat seberapa jauh upaya yang dilakukan pelaku perekam adegan seks sendiri untuk menjaga file itu agar tidak diakses pihak lain.

“Jadi misalnya dia simpan file di laptop, tapi laptop itu adalah laptop yang sering dipinjamkan ke teman. Nah, itu hakim bisa menganggap si perekam tidak menjaga dengan baik file itu. Di situlah bisa kena hukuman,” ujar Fickar.

Pendekatan yang sama terjadi pula pada kasus pencurian atau peretasan gawai yang di dalamnya ada konten seks. Hakim, ujar Fickar, akan menelisik apakah benar gawai berisi file itu dicuri atau diretas.

“Harus dibuktikan, apakah benar dicuri atau diretas. Itu diperlukan untuk menentukan apakah si perekam dan modelnya sengaja memberikan kesempatan kepada orang lain untuk diedarkan atau tidak,” papar Fickar.

Soal pelaku dihukum atau tidak, lanjut dia, tergantung pada hasil penelusuran hakim. Terlebih lagi, ujar dia, tidak jarang pula bocornya video adegan seks ke publik menjadi pintu masuk ke terungkapnya tindak pidana lain.

“Misalnya, ternyata model perempuan terbukti mau direkam untuk disebarkan atau dia dipaksa melakukan itu untuk direkam. Itu modelnya bisa kena atau orang yang memaksa juga bisa kena,” ujar Fickar.

Bagi model yang dengan sengaja menjadi model video adegan seks, diatur dalam Pasal 8 UU Pornografi. Hukumannya, pidana penjara paling lama tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 5 miliar.

Adapun delik bagi pelaku yang memaksa seseorang menjadi model adegan seks untuk direkam, diatur dalam Pasal 9 UU Pornografi. Ancaman hukumannya, pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 12 tahun, dengan denda minimal Rp 500 juta dan maksimal Rp 6 miliar.

Fickar berpendapat, UU Pornografi cukup seimbang mengatur aktivitas terkait perekaman kegiatan seks sendiri.

“Artinya, UU ini di satu sisi cukup menghormati kebebasan individu bahwa boleh merekam sendiri, diberikan ruang. Di sisi lain, memberikan koridor yang jelas agar kepentingan publik tak terganggu dengan mengatur pidana bagi yang memenuhi unsur-unsur tertentu,” ujar Fickar

Oleh sebab itu, kuncinya sebenarnya ada pada masyarakat sendiri. Bagi mereka yang menganggap bahwa merekam adegan seks sendiri itu tidak wajar, tentu tidak termasuk dalam cakupan obyek beleid ini.

Namun, bagi mereka yang nekad melakukannya, harus dijaga betul agar file tidak sampai berpindah tangan ke orang lain. Sebab, meskipun diperbolehkan undang-undang, ada risiko yang mengintai.

SUDAH BANYAK KASUS

Selama hampir satu dekade terakhir, ada begitu banyak persoalan hukum yang bersumber dari rekaman adegan seks sendiri yang kemudian tersebar ke publik.

Tidak hanya penyebar, pemeran dalam video itu turut dihukum karena dianggap bertanggung jawab. Pelakunya bahkan ada yang berasal dari kalangan selebritas.

Ada pula kasus laki-laki mengancam perempuan menyebarkan video rekaman seks mereka demi keuntungan finansial.

Pada tahun lalu, istilah revenge porn pun mencuat di publik, gara-gara kasus mahasiswa sakit hati tak mendapat restu calon mertua lalu menyebarkan video intim. 

Ini sejumlah kasus yang sempat membetot perhatian publik, di antara banyak kasus lain yang bermunculan dari waktu ke waktu terkait video aktivitas seks.

- Kasus Ariel

Nazriel Irham yang pada 2011 dikenal dengan nama Ariel Peterpan divonis penjara tiga tahun enam bulan dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jawa Barat. Dia juga dikenai denda Rp 250 subsider kurungan selama tiga bulan.

Dalam vonis yang dibacakan ketua majelis hakim Singgih Budi Prakoso, Ariel dinyatakan melanggar Pasal 29 juncto Pasal 4 UU 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Hukuman yang dijatuhkan atas Ariel itu lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum.

Menurut Singgih, putusan tersebut didasarkan atas tindakan Ariel yang dianggap telah sengaja memenuhi unsur memberi kesempatan kepada orang lain untuk mengopi dan menyebarkan video seksnya, serta membuat dan menyediakan pornografi.

Kronologi tersebarnya video Ariel diungkap pula dalam sidang pembacaan vonis tersebut. Pada pertengahan 2006, Ariel menyuruh Reza Rizaldy alias Redjoy untuk mengedit lagu dengan menyerahkan hard disk eksternal miliknya. Di dalam hard disk itu ada video adengan pribadi Ariel.

Merujuk kesaksiannya, Redjoy mengingatkan hal itu kepada Ariel tetapi tidak ditanggapi serius. Ariel disebut hanya menjawab, "Lu copy ya? Lu hapus dong. Ngapain buka folder gue?" 

Majelis hakim menilai, tindakan Ariel tersebut ceroboh sehingga memberi waktu dan keleluasaan kepada orang lain untuk mengopi video itu.

Sosoknya sebagai figur publik juga menjadi faktor yang dianggap hakim memberatkan vonis, demikian pula bantahan yang dianggap berlebihan tanpa bukti yang benar.

Vonis Ariel lebih berat ketimbang Redjoy yang berperan sebagai penyebar. Redjoy divonis dua tahun penjara, lebih rendah dari tuntutan empat tahun penjara yang diajukan jaksa. Adapun lawan main Ariel di video tidak terkena pidana.

- Vina Garut

Kasus yang populer disebut "Vina Garut" ini adalah soal video berisi adegan seks seorang perempuan dengan tiga lelaki. Vonis atas kasus ini dibacakan pada April 2020.

Hakim menjatuhkan vonis tiga tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider kurungan tiga bulan kepada VA, sosok perempuan di video itu.

Sebelumnya, jaksa menuntut dia dengan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider kurungan tiga bulan.

VA dinyatakan melanggar Pasal 8 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Hukuman untuk VA lebih berat dibanding yang didapat dua lelaki di video yang sama, WE dan AD.

Dua lelaki itu divonis hukuman penjara selama dua tahun sembilan bulan dan denda Rp 1 miliar subsider tiga bulan kurungan. Mereka dinyatakan terbukti melanggar Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi.

Satu lelaki yang juga ada dalam video adalah Rayya, yang adalah mantan suami VA. Dia tidak mendapat vonis pengadilan karena meninggal pada September 2019.

Dalam persidangan, VA mengaku dipaksa Rayya membuat video bersama tiga lelaki. Bila VA menolak, Rayya disebut akan meninggalkannya. Dari aktivitas itu, VA mengaku diberi uang Rp 500.000.

Bantahan datang dari kubu Rayya. Mereka menyebut inisiatif justru datang dari VA dan tak ada paksaan di sana. Foto VA lalu dipajang di akun Twitter untuk menarik minat pelanggan. 

- Pelajar di Tasikmalaya

Pelajar putri di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang baru berumur 15 tahun, mengaku diperas mantan pacar berinisial E (23) dengan ancaman menyebar video adegan seks mereka.

Kasus ini bermula saat korban melapor ke Polres Tasikmalaya Kota pada 17 Maret 2020. Pelajar ini mengaku mengenal E yang berasal dari Palembang, Sumatera Selatan, lewat Facebook pada 2019.

Seturut waktu, mereka berpacaran jarak jauh, lewat perantara media sosial dan aplikasi percakapan di telepon genggam. Mereka belum pernah satu kali pun bertemu muka di dunia nyata.

Sejak awal Juni 2019, korban mengaku mulai diminta melakukan adegan porno bersama pelaku menggunakan fitur video call di aplikasi percakapan. Korban mengaku selalu menuruti permintaan cyber sex tersebut.

Namun, hubungan mereka bermasalah pada Februari 2020. Menurut korban, E mulai kerap mengancam akan menyebarkan rekaman adegan mesum mereka kalau sampai hubungan mereka putus. 

Menurut korban, E juga pernah memintanya mengirim uang Rp 350.000 disertai ancaman akan menyantet keluarga korban bila permintaan tak dipenuhi. Hingga tulisan ini tayang, polisi masih memburu E. 

- Dokter dan bidan di Jember

Warga Jember, Jawa Timur, belum lama ini dihebohkan dengan beredarnya video asusila berdurasi 48 detik. Pelaku dalam video diduga adalah oknum dokter AM dan dan oknum bidan AY.

Video itu diperkirakan dibuat pada siang hari di lokasi puskemas yang dipimpin AM. Di video, AY terlihat masih memakai seragam. Setelah video beredar, suami AY melaporkan perbuatan AM dan AY ke Kantor Inspektorat Pemerintah Kabupaten Jember. 

Hingga tulisan ini tayang, belum ada laporan bahwa kasus telah ditangani kepolisian. 

- Video mirip Gisel 

Heboh teranyar, beredar video dengan durasi 19 detik pada awal November 2020. Banyak yang menyebut muka pelaku perempuan di video itu mirip artis jebolan Indonesian Idol 2008, Gisella Anastasia. 

Kehebohan tersebut memancing polisi memburu pelaku penyebaran video. Pada 12 November 2020, penyidik Polda Metro Jaya meringkus dua orang yang diduga menyebarkan video itu, yaitu PP dan MN. 

Untuk memastikan pelaku dalam video, polisi melibatkan pakar teknologi informasi untuk melakukan analisis wajah.  

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes (Pol) Yusri Yunus mengatakan, ahli sedikit menemui kendala dalam menganalisis wajah ini karena versi yang beredar bukanlah video asli atau sumber pertama hasil perekaman. Kasus masih bergulir hingga tulisan ini tayang. 

- Mahasiswa di Yogyakarta

Beberapa waktu lalu, dunia maya juga heboh oleh kelakuan mahasiswa di Yogyakarta bernisial JA yang mengirimkan video hubungan seks ke orangtua korban. Gara-garanya, dia diputus oleh korban karena tak mendapat restu orangtua.

Tak hanya itu, video yang sama pun JA sebar di media sosial. Bukannya hubungan dengan kekasih kembali terjalin, alih-alih JA dicokok polisi dan langsung ditahan. 

”Tersangka merasa sakit hati kemudian menyebarkan foto-foto dan video itu,” kata Kepala Subdirektorat Cyber Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah (Polda) DI Yogyakarta Ajun Komisaris Besar Yulianto Budi Waskito dalam konferensi pers, Senin (19/8/2019), di Markas Polda DI Yogyakarta, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.

Dalam penyelidikan polisi, video yang disebar JA dibuat sudah lama, saat hubungan JA dengan sang mantan masih baik-baik saja. Awalnya, rekaman itu dibuat untuk koleksi pribadi. Sakit hati setelah tak ada restu orangtua, JA menyebarkannya. 

JA dijerat dengan Pasal 45 Ayat (1) UU ITE dan Pasal 29 UU Pornografi. Bila terbukti bersalah, JA terancam maksimal 12 tahun penjara dan denda maksimal Rp 6 miliar.

MENDESAK, PENDIDIKAN SEKS!

Konten pornografi sebenarnya sudah ada sejak lama, bahkan jauh sebelum datangnya era smartphone. Hanya saja, bentuknya berbeda.

Menurut Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia Chandra Kirana, kaum remaja pada era 1980-an terpapar pornografi dari novel-novel stensil dan film porno dalam bentuk VCD. Saat itu, media penyebaran konten pornografi masih berupa fisik.

Beda dengan sekarang. Media penyebaran konten pornografi tidak lagi semata berbentuk fisik.

Kicky—panggilan Chandra Kirana—yang juga meneliti fenomena sexting menilai, anak zaman sekarang lebih rawan terpapar konten pornografi. Usia mereka terpapar pun cenderung makin belia dibanding anak-anak dari era sebelumnya.

Pasalnya, konten-konten pornografi sekarang lebih mudah didapat dibanding zaman dulu. Lalu, pengawasan orangtua juga cenderung lebih sulit.

Kicky mencontohkan, sebelum ada smartphone, remaja biasanya curi-curi menonton film porno di VCD Player yang ada di rumahnya. Itu juga relatif sulit karena VCD Player biasanya ditempatkan di ruang keluarga.

"Sekarang, siapa sih yang tidak punya laptop, siapa sih yang tidak punya tab, siapa sih yang tidak punya smartphone? Jadi, akses ke pornografi makin gampang, makin terbuka," ujar Kicky.

Atas dasar itu, Kicky menilai pendidikan seks alias sex education menjadi makin mendesak dan bahkan perlu diwajibkan sedini mungkin ke anak-anak.

Tentu, ini bukan mengajari cara berhubungan seks. Pendidikan seks yang tepat adalah memberikan pemahaman utuh tentang seks kepada anak. 

"Pengetahuan tentang seks itu juga menyangkut identitas, tentang bagaimana merawat kesehatan tubuh, terus bagaimana kita menghargai orang lain," kata Kicky.

Lewat pendidikan seks, lanjut Kicky, seorang remaja pria bisa belajar cara mengungkapkan perasaan cinta ke lawan jenis dengan cara yang lebih menghargai, menjunjung toleransi, dan tidak melecehkan.

"Kalau memang naksir sama seseorang kan ada cara yang lebih halus dan sopan bagaimana membuat orang itu mau menjadi pacar. Jadi, tidak main asal ngomong, raba, gerepe-gerepe, kan?" ujar Kicky memberikan contoh.

- Temuan Unesco

Unesco, badan PBB yang antara lain menangani pendidikan dan budaya, mendapatkan sejumlah temuan terkait pentingnya pendidikan seks yang komprehensif. Dalam laporannya, Unesco memaparkan bukti riset mereka tentang efektivitas pendidikan seks ini. 

Pendidikan seks diyakini berdampak positif seperti menambah pengetahuan dan memperbaiki respons remaja terkait kesehatan seksual dan reproduksi serta perilaku terkait seks.

Pengetahuan seks yang hanya didasarkan pelarangan melakukannya didapati tak lagi efektif mencegah hubungan seks dini. Itu juga disebut tak efektif mengurangi frekuensi hubungan seks pranikah, termasuk tak efektif mencegah gonta-ganti pasangan.

Justru, temuan Unesco mendapati, pendidikan seks relatif lebih efektif ketika mengombinasikan pencegahan seks dini dengan konten lain yang relevan.

Dampak paling besar dari pendidikan seks di sekolah pun dinyatakan baru akan didapat ketika melibatkan orangtua, guru, serta lembaga-lembaga ramah remaja. 

Unesco menyebut, pendidikan seks yang komprehensif adalah proses berbasis kurikulum yang mencakup aspek kognitif (berpikir), fisik, dan sosial terkait seksualitas.

Sasarannya, membekali anak-anak dan remaja dengan pengetahuan, pemahaman, sikap, dan nilai yang tepat tentang kesehatan, martabat, serta relasi sosial yang saling menghormati.

Di dalamnya tercakup upaya membangun kesadaran bahwa pilihan tindakan termasuk soal seks ini akan memiliki dampak tak hanya ke diri sendiri tetapi juga orang lain.

Tentu, pendidikan seks yang baik juga memuat materi yang mengajak anak dan remaja untuk memahami serta memastikan hak mereka terlindungi, tak terkecuali dalam urusan seks.  

Dengan itu semua, pendidikan seks yang efektif bisa jadi juga adalah cara menjauhkan anak, remaja, dan anak-anak muda dari bilik penjara karena aktivitas semacam merekam aktivitas seks ini, bukan?

*Sumber: telah tayang dengan judul "Yakin, Masih Mau Rekam Aktivitas Seksmu?"
https://jeo.kompas.com/yakin-masih-mau-rekam-aktivitas-seksmu


Posting Komentar

0 Komentar